Secara garis besar jenjang pendidikan di Indonesia terdapat tiga kategori jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Masing masing jenjang memiliki corak dan karakter tersendiri yang disesuaikan dengan sistem pendidikan nasional, sistem memiliki fungsi dan tujuan setidaknya mengatur, mengarahkan, mengevaluasi, dan mempermudah roda kegiatan pendidikan dalam skala nasional bukan malah mempersulit. Dalam perjalanan sejarah di Indonesia sistem pendidikan selalu berubah sesuai dengan siapa yang menjadi menteri pendidikan, menurut logika, sistem itu seharusnya berubah sesuai dengan tekanan situasi yang mengharuskan ada perubahan, akan tetapi hal ini berbalik fakta, justru perubahan sistem pendidikan bukan menyesuaikan dengan tekanan situasi dan kondisi melainkan menyesuaikan dengan perubahan menteri yang selalu gonta ganti, dampaknya berakibat pada keresahan dan kegaduhan sistem etika politik pendidikan seperti yang terjadi “2016 ke bawah layanan administrasi pendidikan masih di akomodir oleh dinas pendidikan kabupaten/kota tetapi mulai 2017 pindah layanan pada perwakilan cabang dinas propinsi di masing masing kabupaten/kota, tentunya semua sekolah sudah bisa merasakan pahit manisnya kedua layanan mulai dari dicabutnya BOSDA sampai dalam hal layanan administrasi yang tidak cukup satu, dua, atau tiga kali” Tingga pihak kemdikbud mengevaluasi perjalanan selama sistem layanan yang hampir mencapai dua tahun ini, akan tetapi jika mau mengevaluasi seharus “evaluasi dua pihak bukan evaluasi sepihak” agar ada titik temu inti persoalan layanan pendidikan. Dengan sistem ini, konsekwensi yang harus diterima oleh setiap satuan pendidikan adalah dalam kebimbangan yang masih menjadi teka teki silang yang saling menutupi antara tetap (versi lama) dan melanjutkan (versi baru), antara mampu dan tidak mampu, antara konsisten dan inkonsiten. Hal ini sebenarnya bisa berujung pada konsep pendidikan yang on the paper off the real, tertulis diatas kertas semu di alam nyata. Ibarat ungkpan hati anak muda yang sedang gundah mengatakan “kau tertulis dihatiku tapi tidak aku cintai, kau selalu datang menghantuiku tapi tidak membuat hatiku tersentuh, jadi sudahlah kau cukup menjadi pemain cadangan”. Inikah sistem pendidikan di Indonesia?
Pertama, pendidikan dasar merupakan ujung tombak pendidikan yang paling vital, bahkan untuk memperkuat pendidikan dasar itu digagaslah pendidikan prasekolah yang santer disebut play group seperti Kelompok Belajar (KB) dan Taman Kanak Kanak (TK). Masa belajar pendidikan dasar ini ditempuh selama enam tahun, pendidikan yang dibawah naungan kemdikbud dikenal dengan sebutan Sekolah Dasar (SD) sedangkan yang dibawah naungan kemenag dikenal dengan nama Madrasah Ibtidaiyah (MI), sudah barang tentu corak dan ciri khasnya menyesuaikan dengan yang menaunginya kecuali dalam hal yang berkala nasional. Dalam masa enam tahun ini anak sebagai kader bangsa harus dididik dengan sebaik baiknya, tidak hanya didikan ilmu pengetahuan tetapi aspek pembiasan berbudi luhur, berbuat baik, bersikap sopan, penanaman aspek aspek kebaikan, pemahaman mereka tentang halal haram, pemahaman mereka tentang baik dan buruk harus dikemas dengan kebiasaan sehari hari dan ini harus menjadi skala prioritas pendidikan dasar. Mngapa demikian? Sebab ibarat kita membuat bonsai dari pohon yang besar dan tua lalu kita coba tekuk cabangnya maka yang terjadi mungkin patah pohonnya atau patah tangannya oleh karena itu para petani bonsai memilih pohon yang kecil atau masih muda agar bisa diarahkan kemana saja sesuai dengan kemauannya, pendidikan dasar mungkin juga begitu masih sangat elastis, dinamis, dan elegan jika sudah dipupuk dengan kebaikan kebaikan semasa sekolah dasar.
Setelah mulai bermunculan play group dimana mana SD atau MI sebagai lapangan pengabdian kepada bangsa kadang tidak mau repot dengan calon siswa baru (terutama bagi sekolah favorit) sehingga kadang mempersyaratkan siswa baru harus bisa baca tulis dan hitung, hal ini sebenarnya bertentangan dengan ketentuan pemerintah[1] yang menyatakan :
Hal yang perlu diperhatikan mengenai syarat masuk Sekolah Dasar (SD) untuk sekolah yang dikelola pemerintah daerah dalam PPDB 2018 diantaranya:
1. Tidak wajib "Calistung" Kemampuan membaca, menulis dan berhitung tidak menjadi syarat wajib calon siswa yang akan mendaftar di jenjang SD.
2. Usia minimal 6 tahun Persyaratan calon siswa baru kelas 1 SD berusia 7 tahun atau paling rendah 6 tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan.
3. Prioritas sistem "zonasi" Seleksi siswa baru kelas 1 SD mempertimbangkan kriteria dengan urutan prioritas usia dan jarak tempat tinggal ke Sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
4. Prioritas pendafar awal Dalam Permendikbud diatur, jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sama maka calon siswa yang mendaftar lebih awal akan diprioritaskan.
Jika memperhatikan ketentuan diatas, hampir bisa dipastikan terdapat pelanggaran sistem mendidik, misalkan pada jenjang pendidikan prasekolah mengajarkan “calistung” dengan tujuan agar bisa menjadi senjata ampuh dalam merekrut siswa baru, sedangkan pada jenjang pendidikan SD/MI mensyaratkan bisa “calistung” tujuannya agar para calon siswa baru berkualitas dan mudah gurunya saat mengajar di kelas, praktik praktik semacam ini hampir terjadi di setiap daerah, tidak terkecuali di jawa timur.
Kedua, pendidikan menengah, pendidikan ini juga sama ditempuh selama enam tahun dengan dua kategori yaitu menengah pertama dan menengah atas, intinya satu jenjang dengan dua ijasah, pendidikan SMP/MTs ditempuh tiga tahun, pendidikan SMA/SMK/MA ditempuh tiga tahun, total pendidikan tingkat menengah menjadi enam tahun, namun ada orientasi berbeda pada jenjang pendidikan ini, penulis tidak ingin terlalu mendalam pada problem pendidikan jenjang SMA/MA karena tidak terlalu banyak persoalan yang membelit terkait dengan fungsi dan tujuan pendiriannya, berbeda dengan SMK yang menurut pemahaman penulis terdapat berbagai problem internal dan external yang menyelimuti, mari kita coba tengok apa tujuan pendirian SMK? Setidaknya tujuan Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dapat dirangkum sebagai berikut :
- Menyiapkan siswa agar memiliki kepribadian yang bermoral dan beretika sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup dan memiliki keahlian yang handal di bidang tertentu.
- Menyiapkan siswa agar mampu menguasai dan mengikuti perkembangan teknologi dengan baik dan digunakan dengan sebaik baiknya.
- Menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja terampil produktif untuk dapat mengisi lowongan kerja yang ada dan mampu menciptakan lapangan kerja sebagai wujud kreatifitas diri.
- Memberikan peluang masa depan yang lebih baik, jika tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
Namun dalam perjalananya, tujuan awal ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah (baik mulai dari pusat sampai ke daerah), dibidang rekrutmen tenaga ahli diperkantoran misalnya terbukti masih sering kita dengar dan kita lihat bahwa pemerintah masih cenderung menerima CPNS dengan kualifikasi tamatan SMA yang sejatinya disiapkan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi atau kuliah, bukan untuk siap kerja.
Andai sampai saat ini pemerintah belum memahami perbedaan tujuan dan konsep pendirian SMA dan SMK maka niscaya setiap kebijakan pendidikan tidak akan tepat sasaran.
Lebih jelasnya tujuan pendidikan jenjang SMK pada pasal 5[2] dijelaskan “bahwa pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk menyiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu” lalu tujuan tersebut dijabarkan oleh direktorat pendidikan menengah kejuruan (dikmenjur) menjadi dua tujuan, Tujuan umum sekolah menengah kejuruan adalah; 1) menyiapkan peserta didik agar dapat menjalani kehidupan secara layak, 2) meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik, 3) menyiapkan peserta didik agar menjadi warga negara yang mandiri dan bertanggung jawab, 4) menyiapkan peserta didik agar memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia, dan 5) menyiapkan peserta didik agar menerapkan dan memelihara hidup sehat, memiliki wawasan lingkungan, pengetahuan dan seni. Sedangkan tujuan khususnya adalah; 1) menyiapkan peserta didik agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lapangan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan bidang dan program keahlian yang diminati, 2) membekali peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetisi, serta mampu mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminati, dan 3) membekali peserta didik dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) agar mampu mengembangkan diri sendiri melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tujuan pertama dan utama pendirian SMK adalah agar output-nya dapat bekerja, namun problemnya bagaimana mereka dapat bekerja jika tidak diciptakan lapangan kerja? Bagaimana mereka bisa bekerja jika instansi pemerintah masih belum sepenuhnya percaya? Cukupkah DUDI-DUDI sekolah menampung seluruh alumni SMK? yang hampir dalam satu DUDI terkadang ditempati tiga sampai empat sekolah! Dimana peran pemangku kebijakan kalau hanya masih setengah hati, seakan akan tidak ada take and give antara pihak santuan pendidikan dengan pemegang kebijakan serta stake holder-nya.
Padahal pemerintah telah mengembangkan tiga model kurikulum yang diberlakukan bagi sekolah kejuruan, yaitu kurikulum normatif, kurikulum adaptif, dan kurikulum produktif. Kurikulum normatif adalah kumpulan mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik dengan lebih menekankan pada pengetahuan kognitif -menurut asumsi penulis dipersiapkan- sebagai bekal melaju ke perguruan tinggi. Kurikulum adaptif, adalah kumpulan mata pelajaran yang diajarkan pada semua sekolah dengan menekankan pada keterampilan atau skill -menurut asumsi penulis dipersiapkan- sebagai bekal menuju DUDI. Sedangkan kurikulum produktif adalah kumpulan mata pelajaran yang menjadi ciri khas dari setiap sekolah kejuruan yang -menurut asumsi penulis- bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja secara mandiri. Kalau memperhatikan desain kurikulum yang diberlakukan pada sekolah kejuruan, nampaknya pemerintah telah membuat grand design bahwa siswa lulusan sekolah kejuruan tidak akan ada yang menjadi pengangguran tapi kenyataanya justru berbalik fakta, lalu bagaimana dengan perguruan tinggi? Insyallah tidak jauh bedanya, mungkin ungkapan prof. Mahfud MD menarik bahwa “Indonesia sudah tersandra oleh jabatan masa lalu” mungkin pula pendidikan di Indonesia tersandra oleh jabatan masa kini. Wallahu a’lam.
[1] Lihat Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018
[2] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003