Begitu pentingnya pendidikan bagi manusia dalam mengelola kehidupan dan menjalani hidup yang sebenarnya hingga ayat alquran pertama kali yang diturunkan adalah ayat pendidikan tentang belajar membaca, dalam hal ini keyakinan penulis bukan hanya sekedar membaca tulisan akan tetapi membaca alam semesta yang bertujuan seharusnya apa yang harus kita perbuat dari informasi membaca tersebut. Namun mungkin hal ini tidak banyak direspon positif oleh berbagai kalangan karena mereka lebih didominasi oleh rasa dan keinginan terpendan dalam dirinya yang ingin segera ia wujudkan, hasilnya mereka apriori dengan situasi dan kondisi yang seharusnya ditata ulang demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara. Ada ungkapan menarik untuk kita hayati bersama “kalau kita ingin membangun bangsa maka bangunlah masyarakatnya, kalau kita ingin membangun masyarakat maka bangunlah keluarganya, kalau kita ingin membangun keluarga maka bangunlah dirinya, kalau kita ingin membangun diri sendiri maka bangunlah jiwanya, kalau kita ingin membangun jiwa maka bangunlah hatinya” ungkapan ini jika kita hayati bersama dan dilaksanakan bersama pasti negara ini akan makmur karena tidak ada kepentingan yang bersifat tendensius ke arah status quo yang mementingkan diri sendiri.
Pendidikan mempunyai standing position yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, mengingat salah satu tujuan berdirinya Negara adalah “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tentunya, tujuan itu selaras dengan tujuan pendidikan. Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan hanya berkaitan dengan cerdas ilmu pengetahuan, cerdas di sekolah, melainkan juga cerdas dalam interaksi sosial yang tergambar dalam kehidupan sehari hari, cerdas emosional yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari hal hal negatif thingking sekalipun, dan cerdas secara spiritual yang tercermin setiap hari sebagai hamba yang taat kepada sang pencipta alam semesta dan cerdas dalam hal moral yang selalu ditunjukkan dalam setiap interaksi sosial .
UUD 1945 secara khusus memuat mandat tentang pendidikan, utamanya yang termaktub pada Pasal 31 Ayat 1 sampai 3 yang secara tegas disebutkan: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang.
Tiga ayat tersebut menegaskan tentang hak, kewajiban, tugas dan tanggungjawab antara warga negara (civil society) dan negara (state). Dalam tafsir konstitusionalnya, proporsi hak dan kewajiban warga negara untuk mendapatkan pendidikan seharusnya seimbang dengan kewenangan negara yang bertanggungjawab sebagai fasilitator. Sementara pada Pasal 31 ayat 4, dimana negara memprioritaskan anggaran 20 persen dari APBN untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional, merupakan representasi kewajiban negara sebagai penyelenggara dan penjamin keberlangsungan dan efektifitas proses pendidikan bagi warga negara Indonesia. Namun apakah semua itu terwujud? Kita tidak perlu menjawab tetapi kita sudah merasakan bukan?
Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu, dirinci dan diperjelas melalui UU No 30/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 yang menyebutkan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Bila dibandingkan dengan Undang-Undang Sisdiknas sebelumnya, UU No. 2/1989, tidak banyak terjadi perubahan, kecuali berbeda dalam pengungkapan. Pada pasal 4 ditulis, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan dan kebangsaan". Persoalannya, sejauh mana tujuan pendidikan nasional tersebut diaplikasikan? Apakah tujuan pendidikan nasional tersebut telah mewakili corak dan karakter serta budaya dan kepribadian bangsa? Dan sudahkah tujuan-tujuan pendidikan nasional itu tercapai? Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan itu, mengingat kualitas pendidikan nasional di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat.
Mendapatkan pendidikan adalah hak asasi seluruh warga negara yang sepenuhnya dijamin oleh konstitusi sebagaimana juga terungkap dalam konteks nation state. Sementara negara mempunyai tanggungjawab sebagai penyelenggara dan pengelolanya. Berhasil tidaknya sebuah proses pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara, sejauh mana ia memfasilitasi, mengawal, mengelola, dan mengukur keberhasilan proses pendidikan. Namun, fakta empirik menyisakan otoritas penyelenggaraan pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi kepada negara lebih banyak dikonstruksikan untuk kepentingan aparatur negara, bukan untuk kepentingan warganya. Kebijakan pendidikan dalam praktiknya di lapangan masih banyak didominasi oleh selera dan kepentingan aparatur Negara dibanding memenuhi kebutuhan riil rakyat dalam menghadapi problem kehidupan global. Meski dalam berbagai kerangka sistemiknya telah mengalami perubahan dari sentralisme rezim orde baru menuju dinamika desentralistik masa reformasi, namun kenyataanya belum maksimal menghasilkan output atau outcome yang diharapkan.
Di sektor infrastruktur, negara masih belum menyediakan fasilitas memadai untuk warga negara yang berada di daerah terpencil dan daerah tertinggal, belum lagi berbicara lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta yang notabeni di-nomor-duakan. Hingga kini masih banyak dijumpai gedung yang tak layak pakai dengan bertaruh nyawa para peserta didik harus rela belajar setiap hari dibawah ancaman runtuhnya bangunan. Disisi lain factor kesejahteraan guru yang sangat krusial, masih banyak guru yang berada dibawah kelayakan hidup. Akibatnya, fokus pada pengajaran masih terpecah lagi karena terkontaminasi oleh upaya mengais rejeki tambahan, sehingga proses transfer pengetahuan dan pembentukan perilaku peserta didik pun belum bisa optimal. Meski telah ada Undang-Undang No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, namun berbagai “angin surga” yang dihembuskan dari regulasi tersebut masih belum terealisasikan.
Persoalan kurikulum, sejarah telah mencatat terdapat banyak pergantian kurikulum yang intinya hanya “berganti kulit”, namun substansinya masih tetap, yaitu membebani peserta didik dan guru. Kurikulum Tingkat Satuan Pelajar (KTSP) yang merupakan hasil reingkarnasi dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ternyata gagal diujicobakan kini muncul kurikulum baru dengan wajah baru bernama kurikulum 2013. KBK diangap masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah masih dianggap terlalu interventif dalam mengembangan kurikulum (top-down). Oleh karena itu, dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberikan kewenangan untuk mengembangkan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya. Justru karena beban kurikulum dibebankan kepada guru, sementara beragam problem guru seperti rendahnya SDM, permasalahan kesejahteraan, dan lainnya, maka marak terjadi budaya “copy-paste” yang tidak pasti.
Bila mencermati sejarah pergantian kurikulum, dari masa Orde Lama (Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964), masa Orde Baru (Kurikulum 1975, Kurikulum CBSA, Kurikulum 1994), hingga masa reformasi (Kurikulum dengan sistim KBK, KTSP, dan Kurikulum 2013), dapat dipahami bahwa kurikulum yang silih berganti itu menunjukkan betapa intervensi penguasa dalam persoalan pendidikan sangat dominan. Karena itu, realitas ini menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia menjadi instrumen politik kepentingan. Secara keseluruhan, “komplikasi virus” pada otoritas pendidikan nasional semakin menjauhkan pendidikan dari hakikat dan tujuannya. Hakikat pendidikan untuk memanusiakan manusia telah direduksi oleh sistem pendidikan itu sendiri. Karena itu, krisis etika dan religiusitas peserta didik terhadap perubahan zaman menjadi fakta realistis, bukan rasionalis yang agamis. Dalam konteks nation state, semestinya Indonesia sebagai negara (state) yang menjamin hak-hak warga negaranya (nation) untuk mendapatkan pendidikan yang layak, ternyata negara masih “setengah hati” memerankan diri sebagai fasilitator pendidikan, akibatnya pendidikan sebagai “ladang indoktrinasi” program negara untuk melanggengkan status quo kekuasaaan dari rezim ke rezim berikutnya.
Walhasil, peserta didik hanya “diproses”- bukan “berproses” - dengan mentalitas dan tujuan yang dikehendaki oleh si pemeroses bukan pada apa yang di inginkan oleh yang diproses, mereka merasa tertekan, dibatasi, dan dijadikan alat untuk mencapai keinginan penguasa, mereka tidak bisa berbuat apa apa dibawah tekanan pendidikan yang dilegalkan. Banyaknya tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba, dan pergaulan bebas adalah akibat langsung pendidikan yang “salah alamat”. Pendidikan lantas jauh dari standar mutu, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Membahas persoalan pendidikan di Indonesia secara totalitas, berarti mengajak kita pada persoalan krusial yang pernah menimpa bangsa kita dalam berbagai aspek pendidikan, mulai sejak penentuan kebijakan, proses pelaksanaan, evaluasi, dan problem pendidikan baik internal maupun external. Problem tersebut setidaknya menyangkut ;
- Anggaran Pendidikan tidak tepat sasaran. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahun terhadap penggunaan anggaran negara di institusi pemerintah, Kementerian Diknas selalu memperlihatkan rendahnya kemampuan pengelolaan anggaran sehingga terjadi tingkat kebocoran dan in-efisiensi yang tinggi.
- Pemerataan Pendidikan belum tercapai. Komitmenpemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata seperti pemerataan dana, akses, dan mutu pendidikan yang bebas dari tekanan. Faktor utama gagalnya pemerataan justru terletak pada konsep “gratis” yang menggrogoti kemandirian masyarakat dan pasrah sepenuhnya atas jaminan negara. Faktanya, negara belum mampu meng-gratis-kan seluruh biaya pendidikan. UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1), namun pemerintah menyatakan hanya menangung biaya operasional. Artinya, saat ini warga terbuai mimpi pendidikan gratis yang belum sepenuhnya, apalagi warga di daerah terpencil yang jauh dari kelayakan pendidikan.
- Kurikulum Pendidikan yang Paradoks. Penerapan kurikulum tampak paradoks dari beberapa indikator: Pertama, gonta-ganti kurikulum hingga saat ini menunjukkan campur tangan penguasa terhadap pendidikan terlalu berlebihan. Kedua, Regulasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) saat ini belum sepenuhnya terwujud, bahkan belum semua bisa dan memahami isi kurikulum tersebut, kini harus berganti lagi ke kurikulum 2013. Pada kalangan praktisi pendidikan diyakini bahwa hal ini tidak akan berjalan maksimal bila tidak diimbangi dengan pemerataan fasilitas sarana prasarana dan kualitas serta mutu guru. Kurikulum boleh berganti tetapi apa hasilnya? Model pembelajaran boleh dikembangkan, tetapi bagaimana hasilnya?. Apakah sudah berarti mendidik, jika tidak bermuara pada perubahan mental, hanya mahir menghafal, dan hanya mendapakan selembar ijasah
- Kebijakan Desentralisasi Pendidikan yang tidak jelas. Terjadinya tarik-menarik kepentingan dalam kebijakan desentralisasi pendidikan oleh pemerintah saat ini, baik pemerintah pusat maupun provinsi sepertinya tidak sepenuhnya rela menyerahkan pengelolaan pendidikan kepada kabupaten atau kota sehingga tetap harus ada wewenang yang harus ditangani oleh pemerintah pusat maupun propinsi. Ketidakrelaan melepas orotitas kewenangan itulah yang menyebabkan konsep desentralisasi pendidikan juga menjadi setengah hati.
- Pemerataan akses pendidikan masih sangat diskriminatif. Terbukti bahwa siswa dan mahasiswa dari kalangan tidak mampu masih sulit untuk mengakses pendidikan berkualitas karena mahalnya biaya pendidikan. Fakta lapangan menunjukkan bahwa masih banyak terjadi perbedaan layanan anak didik ruang kelas yang mengarah pada praktik diskriminasi berdasarkan latar belakang sosial dan ekonomi. Reformasi pendidikan pun kini sedikit diragukan karena dianggap memarjinalkan peserta didik dari keluarga tidak mampu terbukti dengan munculnya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang cenderung eksklusivisme melahirkan kesenjangan sosial dan kastanisasi pendidikan, namun hasil Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan penghapusan terhadap RSBI menjadi angin segar keseriusan pemerintah untuk tidak membeda-bedakan peserta didik.
Persoalan pendidikan seharusnya tidak hanya bermuara pada nilai dan angka sebagai standar kelulusan. Tetapi bagaimana membuahkan perubahan perilaku dan mental, misalnya: anak menjadi lebih percaya diri, anak menjadi kreatif, anak menjadi inovatif menyulap barang bekas menjadi barang berharga, anak menjadi mandiri dengan kondisi riil yang dihadapi, anak siap dengan segala situasi, karena mereka akan hidup dan menjalani kehidupan, hidup pasti diperjuangkan dengan kreatifitas. Umumnya, pendidkan hanya bersifat teks book, menguasai apa yang ada di luar dirinya, bukan potensi yang ada pada dirinya, akhirnya lahirlah generasi yang manja, yang kurang memiliki semangat juang jika menghadapi tantangan. Generasi ini mudah putus asa menghadapi pengaruh-pengaruh yang tidak sehat. Hal itu terlihat dengan kenyataan misalnya pelajar yang membentuk geng-geng, pelajar yang terlibat kriminal, pornografi, dan sebagainya.
Oleh karena itu, jika memang kita ingin mencapai tujuan luhur pendidikan, yaitu membentuk manusia seutuhnya, maka konsep kita tentang pendidikan perlu dikoreksi lagi karena pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu, namun di dalamnya ada tanggung jawab moral yang lebih hakiki, yaitu memberikan peluang bagi sebuah pribadi untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pendidikan harus bisa memberikan ruang bagi pribadi untuk mengaktualisasikan dirinya. Lebih dari itu, pendidikan juga memberi kesadaran bahwa yang penting itu bukan nilai dan angka-angka, tetapi nilai-nilai kemanusiaan untuk menghadapi tantangan hidup selanjutnya.